PASANG SURUT PERJALANAN GERAKAN SIPIL DI ACEH (STUDI ANALISIS DARI TAHUN 1998 – 2012)
Reformasi 1998 merupakan suatu sejarah penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Lengsernya Soharto dari kursi kepresidenan tidak terlepas dari kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang sedang kacau. Reformasi dapat dikatakan sebagai gerakan moral untuk menjawab ketidakpuasan dan keprihatinan atas kehidupan ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada Bulan Mei 1998 terjadi gelombang demontrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa yang bersama-sama meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemimpin Negara tertinggi, dan meminta dia untuk mengundurkan diri. Peristiwa pengunduran diri Soeharto dan pengangkatan B.J. Habibie menjadi presiden menandai runtuhnya orde baru dan awal dari masa reformasi.
Runtuhnya rezim orde baru membawa angin segar bagi daerah Aceh yang masih dibalut dengan kondisi Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam pemerintahan transisi, Presiden BJ. Habibie. Jenderal Wiranto yang ketika itu menjabat menteri pertahanan dan keamanan dan panglima komando angkatan bersenjata, pada tanggal 7 Agustus 1998 mencabut kembali status Daerah Operasi Militer (DOM) yang dikenakan pada Aceh sejak 1990.[1]Ia juga memerintah pengunduran seluruh pasukan dari luar Aceh sebelum akhir bulan itu.[2]Presiden BJ. Habibie dalam pidato kenegaraan di depan rapat paripurna DPR tanggal 16 Agustus 1998 secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum ABRI dan berjanji menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sekaligus berjanji menarik secara bertahap 4.000 pasukan non-organik dari Aceh.
Pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Jenderal Wiranto membuat masyarakat Aceh bersuka cita. Meski, militer tidak benar-benar mengakhiri operasi militer di Aceh. Sebut saja operasi Wibawa pada 1999 dan pelbagai operasi lain dengan kedok penegakan hukum, seperti Operasi Sadar Rencong dan Operasi Sadar Rencong II, serta Operasi Cinta Meunasah.[3]Operasi ini masih diwarnai berbagai bentuk kekerasan dan tidak ada perubahan sama sekali dari operasi sebelumnya. Ada sedikit perbedaan dalam hal kekerasan yang target sasarannya adalah gedung-gedung sekolah yang dibakar, selain itu terdapat kasus pembunuhan massal serta munculnya Petrus ( penembakan misterius ) yang tidak pernah terungkap.
Penerapan kembali operasi militer di Aceh pada awal Januari 1999 membuat kondisi Aceh semakin lama semakin tidak menentu. Ini membuat gerakan sipil dan tokoh masyarakat Aceh mulai meningkatkan perlawanannya. Berbagai aksi demonstrasi serta sumbangsih pemikiran untuk memberikan berbagai solusi politik sebagai upaya kompromi dengan pemerintah pusat pun dilakukan. Puncaknya terjadi saat mahasiswa dan pemuda Aceh menggelar Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang di gagas oleh Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) bekerja sama dengan organisasi yang bersifat koalisi di Aceh, yang disebut dengan Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA). Dua rekomendasi pun disepakati. Yang pertama memilih Referendum dengan opsi merdeka. Dan yang kedua adalah, Mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas mengorganisir informasi dan memperjuangkan nasib bangsa Aceh melalui referendum.[4]
Seiring konflik politik yang mendera Aceh selama 30 tahun, mahasiswa turut serta dalam membantu dan memberikan arah bagi gerakan civil society di Aceh. Ini terlihat dengan menjamurnya organisasi-organisasi mahasiswa luar kampus, seperti Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA), Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Forum Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh (FARMIDIA), Forum Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA), Forum Silaturahmi Mahasiswa Aceh (FOSIMA), Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan komite aksi mahasiswa daerah seperti WAKAMPAS di Aceh Selatan, KAMAUT di Aceh Utara, Mahasiswa dan Pemuda Pejuang Rakyat Aceh (MAPRA) di Lhokseumawe, Koalisi Aksi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (KAGEMPAR) di Aceh Barat dan lainnya baik di dalam maupun di luar Aceh. Sampai pada puncaknya pada saat di berlakukannya Status Keadaan Gawat darurat untuk Provinsi Aceh (Darurat Militer) bertambah lengkaplah alat kekuatan militeristik pada saat konflik di Aceh atas nama keutuhan Negara Republik Indonesia untuk menghancurkan, memintai keterangan sampai tindakan untuk menangkap setiap siapa saja yang patut di duga melakukan pengorganisiran dan pengorganisasian rakyat yang dapat membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama diberlakukannya status Aceh menjadi Darurat Militer, gerakan sipil di Aceh mulai surut dan tidak aktif secara terbuka. Bahkan, gerakan sipil di Aceh bisa dikatakan hancur berantakan. Melalui serangan atau teror yang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga telah melahirkan rasa ketakutan yang begitu dalam dikalangan gerakan sipil di Aceh. Kondisi ini terus berlangsung selama darurat militer maupun darurat sipil, bahkan banyak aktivis yang mulai mengalihkan profesinya dan tidak sedikit pula yang keluar dari Aceh dengan berbagai alasan dan tujuan.
Untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di Aceh, pada tanggal 12 Mei 2000 Presiden Abdurrachman Wahid berinisiatif untuk mengadakan perjanjian dengan GAM di Jenewa.[5]Ketika Megawati Soekarnoputri menduduki kursi Kepresidenan pada tahun 2001, perundingan-perundingan terus dilakukan. Lalu pada tanggal 17 dan 18 Mei 2003, RI dan GAM mengadakan pertemuan di Tokyo untuk mencegah konflik dan membahas bersama mengenai Joint Council. Karena tidak ada pihak yang mau mengalah, maka pada tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati mencetuskan bahwa Aceh menjadi Darurat Militer. Konflik terus berlanjut di Aceh sampai ke perubahan status menjadi Darurat Sipil pada tanggal 18 Mei 2004.
Tsunami yang meluluhlantakkan daerah Aceh pada 24 Desember 2004 membuka mata dunia Internasional untuk mengakhiri konflik yang sedang terjadi di Aceh. Pada tanggal 15 Agustus 2005, pihak pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara resmi menandatangani MoU Helsinki di Finlandia. Nota kesepahaman yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bertikai selama puluhan tahun, menjadi babak baru dalam proses perdamaian di bumi Serambi Mekkah ini. Pasca ditandanganinya perjanjian damai tersebut, telah terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Aceh pasca pemberian hak politik khusus terhadap masyarakat Aceh, yaitu dengan menyepakati berdirinya Partai-Partai Politik lokal Aceh dan juga adanya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah di Aceh pada Pilkada 2006.[6]
Setelah perjanjian damai MoU Helsinki sejumlah gerakan sipil dan aktivis di Aceh membentuk konsolidasi yang bermuara ke arah pembentukan partai politik lokal yang menandai perubahan strategis politik bagi para kalangan gerakan sipil di Aceh. Di Aceh, masyarakat sipil telah turut berperan menuntut perubahan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, penelitian ini ingin melihat dan meneliti bagaimana pasang surut perjalanan gerakan sipil di Aceh dari tahun 1998 hingga tahun 2012.
[1] Human Rights Watch, “Indonesia: The War in Aceh” (Indonesia: Perang di Aceh), Agustus 2001.
[2] DOM tidak memiliki status hukum. Nama tersebut merupakan istilah militer untuk menandakan batas-batas operasi militer namun juga agaknya dijadikan kewenangan informal untuk menjalankan setiap langkah yang diperlukan bagi keamanan provinsi.
[3] REKAM JEJAK DEMOKRASI ACEH. (2012). Yayasan TIFA dan GERAK. Hal. 22.
[4] Di Balik Layar Sang Pejuang Referendum. http://rizkyfechrizal.wordpress.com/2010/03/30/di-balik-layar-sang-pejuang-referendum/. Diakses 15 November 2012.
[5] Pada perjanjian tersebut RI diwakili oleh Duta Besar atau Wakil Tetap RI untuk PBB DR Hassan Wirajuda sedangkan perwakilan dari pihak GAM Dr Zaini Abdullah. Pihak GAM tetap menuntut kemerdekaan di Aceh, tapi hal itu ditentang oleh Pemerintah Pusat.
[6] Lihat poin 1.2 Mou Helsinki tentang partisipasi politik.
Komentar
Posting Komentar