Citra Pesantren dalam Landscape Islam Nusantara



Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan




Usia pesantren di Indonesia jauh lebih tua dibanding dengan usia kemerdekaan republik. Lembaga pesantren mulai eksis pada abad ke-15, era awal penyebaran Islam di Nusantara yang dipelopori oleh wali songo. Pesantren nyata-nyata telah memberikan kontribusi besar tercapainya kemerdekaan republik dan kemajuan ilmu pengetahuan sekaligus meberikan warna terhadap wajah kebhinekaan sosial kultural Nusantara.

Namun demkian, pesantren kurang mendapat tempat  yang layak dalam sistem pendidikan nasional. Dialektika politik pasca indonesia merdeka saat perumusan dasar negara dan sikap demokratis pemimpin-pemimpin muslim saat itu, dengan mengakomodasi kepentingan besar nasional dengan menyepakati sila dasar pertama Pancasila kita yang kemudian berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, mungkin berimbas kepada eksistensi pesantren dan madrasah menjadi minus perhatian pemerintah. Tapi, entah lah!

Fokus tulisan ini lebih kepada upaya menarasikan wajah pesantren dari waktu ke waktu dan apa latar yang mendasarinya? Yang bisa kita pahami format dasar dibangunnya pesantren, sebagaimana dikatakan Khamami Zada, kordinator Program Kajian dan Penelitian Lakpedam NU, mengatakan bahwa pesantren sebagai pusat pendidikan agama yang mampu melakukan adaptasi dengan kebudayaan masyarakat setempat secara baik, tanpa harus saling menafikan. (lihat, Jurnal Ilmiah Pesantren Mihrab, edisi perdana – tahun I, Juni 2003, hal. 53)

Wajah Pesantren Pra dan Pasca Reformasi   
Wajar apabila kemudian yang nampak adalah wajah pesantren yang ramah dan teduh. Citra positif pesantren terus bertahan lama, tetapi berubah negatif. Adalah gelombang reformasi 1998 berhasil merontokkan orde baru berikut dengan rezimnya yang berkuasa. Reformasi mengusung jargon desentralisasi, demokratisasi, stop dwi fungsi ABRI, kebebasan pers, dan lain-lain. Pasca reformasi, semangat kebebasan sangat dirasakan oleh masyarakat di semua segmen kehidupan; dan pesantren pun akhirnya terdampak liberalisasi, bahkan ada beberapa pesantren yang mengarah, atau tepatnya terjebak kepada radikalisasime.

Menurut analisa Khamami Zada, ada dua hal yang menyebabkan proses radikalisasi di pesantren. Pertama, jaringan intelektual yang dilakukan pesantren modern berasal dari kawasan Timur Tengah yang berwatak keras, militant dan radikal, terutama ajaran Wahabi yang dibawa secara literal ke wilayah Nusantara. Purifikasi adalah produk nyata dari jaringan intelektual Wahabisme dalam bentuk pemberantasan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Dalam proses selanjutnya, jaringan intelektual ini meluas, tidak saja berpatokan pada mazhab Wahabisme, tetapi juga mengambil ideologi radikal sejumlah intelektual; seperti Hasan al-Bana, Al-Maududi, Sayyid Qutb, Hasan Turabi, dll. Itu sebabnya, psikologi radikalisme yang bergolak di Timur Tengah benar-benar dipraktikan di tanah air sebagai perjuangan luhur agama.

Kedua, pengajaran agama yang ekslusif dan dogmatik telah melahirkan sikap permusuhan dengan kelompok di luarnya. Istilah Zionis-Kafir seakan menjelma menjadi kesadaran keagamaan untuk melawannya dalam bentuk apa pun. Ditambah lagi dengan ideologi jihad yang dipahami sebagai perang melawan kaum Zionis-Kapir, telah menambah deretan sikap radikal. Sehingga aksi kekerasan apapun yang dilakukan umat untuk menghancurkan Zionis-Kapir, yang mereka sebut sebagai musuh-musuh Islam, adalah perjuangan agama yang paling luhur (syahid). Pada dasarnya, pengajaran seperti ini tidak murni sebagai kesadaran otentik masyarakat Islam Nusantara, melainkan pengaruh dari jaringan intelektual dan ideologis yang dibawa dari Timur Tengah. (opcit hal.52)

Secara umum, sebelum era reformasi karakter dasar pesantren sesungguhnya berwajah ramah, memesona, dan penuh toleransi dan sebaliknya pasca reformasi pesantren ada yang berwajah garang. Untuk mengembalikan kepada karakter otentiknya, pesantren yang menampilkan wajah toleran dan damai dalam landscapeIslam Nusantara, butuh kecerdasan dan keberanian melakukan diskursus intensif deradikalisme sekaligus mengubah mindset pengajaran yang ekslusif dan dogmatik menjadi pengajaran inklusif dan kritis. Apakah upaya ini udah berhasil? Dan apakah jawabannya bisa ditemukan lewat ekspresi ormas-ormas Islam saat ini? Wallahu ‘Alam bissawab.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

NASIHAT SYAIKH 'ATHA' BIN KHALIL TENTANG PENTINGNYA MEMPELAJARI BAHASA ARAB