Diskursus dan Seruan Isra Miraj



Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan




Dalam kultur Islam Nusantara tradisi merayakan hari-hari basar keagamaan, seperti memperingati hari Isra dan Miraj adalah sebuah keniscayaan. Beragam ekspresi mengemuka dalam peringatan hari besar agama mulai dari mendengarkan ceramah agama dari penceramah hingga berbagai perlombaan digelar. Adakah yang keliru dari kultur semacam ini? Jawabanny, tentu saja tidak! Sepanjang kita merayakannya tidak berlebihan dan yang terpenting esensi dari peringatan tersebut tersampaikan dan terpahami dengan baik.


Guna memeroleh pengetahuan dari peristiwa masa lalu, terlebih pada peristiwa yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lamanya dan kita tidak terjebak kepada romantsime semata, maka mutlak harus dilakukan telaah tekstual dan kontekstual dari sumbernya yang primer. Melalui penelaahan yang benar terhadap keduanya, kita bisa menarik garis merah kebutuhan kontekstual saat ini.



Diskursus Isra Mi’raj 


Peristiwa  Isra dan Miraj Muhammad SAW diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Isra: “Mahasuci (Tuhan) yang memperjalankan hambanya (Muhammad) pada malam hari, dari masjidil Haram kemesjid yang amat jauh (Baitul-makdis), yang telah kami berkati sekelilingnya, supaya kami perlihatkan kepadanya sebahagian ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Allah Mahamendengar dan Mahamelihat” (QS. 17:1).


Perjalanan ruhani Muhammad SAW di malam hari dari Mekah ke Jerusalem, yang terkenal dengan nama Isra dan naiknya beliau secara jasmani maupun ruhani menyebrang tujuh lapisan langit sampai ke tahta Yang Maha Kuasa (Arsy), yang dikenal sebagai Miraj, kemudian kembali ke Mekah dalam waktu yang sangat singkat merupakan tantangan terbesar yang pernah disodorkan Tuhan kepada kaum empiris maupun rasionalis.


Memang sejak semula sampai era modern diskursus disekitar peristiwa Isradan Miraj melahirkan pro-kontra. Melalui telaah historis dapat dibaca bagimana suasana kebatinan kaum apologis Muslim yang lelah mendefinisikan Isra dan Miraj melalui istilah dan terminologi ilmiah atau membandingkannya dengan perjalanan ruang angkasa modern ke bulan atau ke planet-planet lainnya menghadapi serangan frontal kaum empiris – rasionalis yang memertanyakan peristiwa tersebut dengan argumentasi teori fisika. Menurut mereka yang menolak, bagaimana mungkin Rasulullah melepaskan dirinya sendiri dari daya tarik bumi, kontinum ruang-waktu atau dapat berjalan pada kontinum yang dimensinya lebih tinggi dan di luar dari benda-benda angkasa luar?


Adalah cendekiawan Muslim Syed Habibul Haq Nadvi, dalam bukunya yang sudah diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia, yang berjudul Dinamika Islam, di bab Sembilan: Metafisika Miraj Dimensi-Dimensi Relijio-Politik, menegaskan bahwa kita tidak bisa mempertanyakan sikap kaum empiris tersebut Karena mereka tidak percaya pada tatanan metafisika atau hidup setelah mati dan doktrin pahala serta siksa. Bagi Syed Habibul Haq Nadvi sudah  and clean, bahwa baik Isra maupun Mirajmerupakan tahap akhir perkembangan ruhani Rasulullah. Keduanya menggabung ilmu mengenai keseluruhan penciptaan atau makhluk, yang terlihat maupun yang ghaib, seperti bumi, bulan, bintang-bintang, angkasa luar, surga, dan neraka maupun proses pahala dan siksa.


Seruan Isra dan Miraj


Aspek positif dari perdebatan ilmiah kritis dalam bingkai humanis akan selalu mengayakan kita secara intelektual dan luasnya wawasan. Tetapi, terlepas dari urgent tidaknya perdebatan tersebut, di era pos modernis dalam konteks Islam Nusantara, nampaknya yang sangat mendesak adalah menafsir marwah apa dibalik setiap peristiwa historis (baca: peristiwa Isradan Miraj). 


Peristiwa Isra dan Miraj sebagai salah satu peristiwa sejarah yang besar, yang dalam kultur ke-indonesia-an kita rutin diperingati, bahkan negara secara eksplisit telah memberikan sikap penghormatan sedemikian rupa dengan dijadikannya sebagai hari libur nasional, marilah kita maknai sebagai seruan sejarah kepada umat Islam khususnya, dan umumnya masyarakat Indonesia, untuk mampu ber-Isradan ber-Miraj menjadi bangsa yang berbudaya dan berperadaban tinggi menjunjung nilai-nilai inti kemanusiaan. 


Suka tidak suka harus diakui secara jentelmen, bahwa kita belum sampai kepada bangsa yang berbudaya dan berperadan super Karena fakta-faktanya begitu “telanjang” yang bisa kita cermati di jalan raya sampai di lembaga-lembaga tinggi negara. Pertanyaannya mau sampai kapan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah

Mimpi Syaikh Taqiyuddin An Nabhani