Haram menghadirkan Kekerasan di Sekolah
Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan
werbefabrik
Kekerasan apapun bentuknya, baik fisik maupun verbal, hanya meninggalkan luka menganga bagi siapa saja, terlebih bagi yang dikenai langsung kekerasan. Nyaris setiap hari kekerasan dipertontonkan lewat media, dari kekerasan bernuansa politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan ada juga kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Sekolah sebagai tempat dimana berlangsungnya pengajaran ilmu pengetahuan dan keterampilan, juga diajarkan moralitas, etika, dan estetika, tak luput kerap terjadi kekerasan disana, dimana aktornya para pelajar itu sendiri, bahkan ada juga yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
“Penegakkan disiplin”, begitu yang sering kita dengar ketika kekerasan terekspos. Pertanyaan sederhanananya, apakah memang mereka sudah kehilangan akal sehat, dan tidak ada cara lain, demi tegakknya disiplin harus, menggunakan cara-cara kekerasan?
Pola Lama
Dalam penyelenggaraan pendidikan pola lama hukuman fisik, yang di era post modernism dimaknai sebagai kekerasan, adalah lumrah dan biasa. Tidak ada yang protes apapun yang dilakukan oleh guru, bahkan orang tua murid menganggapnya, yang seperti itu, demi kebaikan putra-putrinya. Para orang tua mengamininya saja, tak lebih dan tak kurang.
Ini bukan berarti saya menyeru untuk kembali ke pola lama pengajaran pendisiplinan peserta didik, namun sekadar menyinggung bahwa dalam penegakkan disiplin dimasa itu cukup berhasil. Yang lama, ya sudah! Semuanya sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah dunia pendidikan kita. Kita menempatkannya sebagai bagian pembelajaran kita agar hari ini lebih baik, lebih berhasil.
Setiap jaman punya semangatnya tersendiri. Cara-cara lama sudah usang, dan tidak bisa dipakai lagi. Kesadaran publik terhadap persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengubah wajah dunia pendisiplinan di sekolah untuk dapat dihadirkan secara ramah dan bertanggung jawab. Sekarang ini, jika didapati siswa, tergores sedikit saja, karena ulah gurunya dengan atau tanpa maksud pendisiplinan anak didiknya, akan berujung dimuka pengadilan dan berakhir dibalik jeruji.
Pola Baru
Mendisiplinkan anak didik dengan hukuman fisik, saat sekarang ini, adalah tindakan terlarang. Dilema yang dihadapi para guru, ketika melihat anak didiknya tidak disiplin, pilihannya: pembiaran atau penindakan. Sekolah dengan guru-gurunya yang berkomitmen ingin anak didiknya berhasil kelak, pelanggaran indisipliner pasti akan ditegur dan ditindak nyata. Dan dalam pendisiplinannya, mereka harus menempuh cara-cara “berkeadaban”, sebagai contoh, misalnya anak yang terlambat masuk sekolah di hukum dengan diharuskannya membaca kitab suci, atau buku dengan tetap diawasi oleh guru piket.
Dewasa ini, tidak bisa seenaknya seorang guru menerapkan hukuman fisik dalam menerapkan disiplin bagi peserta didik, karena ketika dilakukan resikonya terlalu berat: kehilangan pekerjaan dan dipenjara. Jika ada punishmentmaka seharusnya ada reaward. Namun sejauh ini, publik menyikapinya dengan punishment semata, ketika kedapatan seorang guru melakukan kekeliuran yang mengakibatkan luka fisik seringan apapun. Sebaliknya, pada saat yang sama, seorang guru mampu menghantarkan anak didik berprestasi, sampai ketingkat nasional sekalipun, belum terdengar, guru bersangkutan mendapat kalungan medali penghormatan, terlebih diberangkatkan umroh, sebagai reward bagi dirinya.
Kita bersepakat kekerasan dalam bentuk apa saja, verbal apalagi fisik, adalah haram untuk dihadirkan di institusi sekolah. Sekolah adalah rumah kita bersama, tempat dilahirkannya manusia-manusia unggul berpengetahuan dan berketerampilan seta mengagungkan nilai-nilai etis dan estetis.

Komentar
Posting Komentar