Membangun Pikiran Bangsa Lewat Baca-Tulis

Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan dan Penikmat Sosial Budaya

sigamba
“Jangan sekali-kali pernah bermimpi untuk bisa mengalahkan Jepang, Korea Selatan, AS, dan negara maju lainnya ketika Anda tidak terbiasa membaca dan menulis” (Ari Ginanjar)
 
Tidak mudah memenangkan kontestasi negara di level internasional, apalagi harus berhadapan dengan negara Jepang dan Korea Selatan di Asia, Amerika Serikat, dan atau negra-negara yang ada di kawasan Skandinavia, negara-negara yang tingkat kemakmurannya jauh dari bangsa-bangsa di Asia, termasuk indonesai.

Memang, kita memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan Sumber Daya Manusia dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, dibawah China, AS, dan India. Tetapi apakah ini bisa diandalkan? Jawabannya tentu saja bisa, tapi tentu saja harus disertai dengan catatan.

Membangun Pikiran

SDA dan jumlah penduduk adalah modal dasar memenangkan persainga global, tapi bukan penentu utama. Sebab apa artinya SDA melimpah jika tidak bisa dikelola dengan baik; dan apa pula maknanya penduduk padat tapi kualitas ilmu pengetahuan dan ketrampilannya rendah. Oleh karena itu, guna meningkatkan produk SDA berdaya saing tinggi hanya bisa dilakukan oleh penduduk yang tingkat ilme pengetahuandan keterampilannya tinggi dan selalu di up grade dari waktu ke waktu.

Tidak ada jalan “tol” dalam meraih kesuksesan, semuanya butuh proses yang panjang. Dan proses menuju bangsa pemenang adalah dengan membangun pikirannya. Membangun pikiran bangsa berarti mengontruksi budaya baca-tulis. 

Lemahnya budaya membaca dan menulis merupakan kenyataan sosial kita sampai hari ini. Realitas sosial, seperti didefinisikan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990), adalah sutu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Ia adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan – dalam kehidupan sehari-hari.

Bertolak dari pemikiran Berger dan Luckman: manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagimana ia memengaruhinya melalui proses internalisasi, yang mencerminkan realitas subyektif. Masyarakat tidak memiliki bentuk lain kecuali untuk yang diberikan padanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. 

Dalam konteks membangun pikiran bangsa, realitas sosial sejatinya yang kita kehendaki adalah masyarakat pembelajar “gila” membaca dan mengaktualisasikan apa yang dipelajarinya dengan aktivitas menulis. Maka dari itu, institusi keluarga sebagai kelompok sosial primer berada digarda depan dalam menciptakan realitas sosial individu pembelajar. Gerakan ini harus sejalan dan seiring dengan institusi sekolah dengan melakukan pembiasaan membaca kira-kira setengah jam sebelum jam pembelajaran dimulai. 

Orang tua, guru, dan tokoh masyarakat dalam hal ini mutlak harus menjadi suri tauladan anak-anak bangsa; dukungan nyata dari para selebritas sangat dibutuhkan sebab mereke banyak diidolakan anak-anak muda; dan pemerintah berkewajiban membangun infra struktur dan supra struktur yang dibutuhkan. 

Dengan dimampukannya bangsa ini melakukan gerakan nasional membaca dan menulis, maka selebihnya adalah hak kita untuk bisa menyalip Korea Selatan, Jepang, AS, dan negara-negara yang sudah maju lainnya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah

Mimpi Syaikh Taqiyuddin An Nabhani