Meretas Hidup Kerja Keras dan Dedikasi



Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan

 

wikipedia 

Manusia berubah, demikian juga masyarakat, bangsa, dan negara. Semuanya berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Dalam perubahan hidup, alasan mengapa kita ada dan mengada, seajatinya tidak mengalami perubahan, yakni terkait dengan pertanyaan: mengapa kita ada dan mengada? Jawabannya jelas, adalah supaya kita dapat mempelajari apa saja yang bisa dipelajari dan berguna untuk kehidupan dalam memberikan pelayanan kepada sesama. 

Alasan seperti itu tentunya bersifat universal. Artinya, apa pun agama, kepercayaan, dan idiologi seseorang, kiranya bisa menerima dan mengamini falsafah hidup tersebut. Hidup tanpa disertai falsafah, kebijakan dan kearifan yang luhur, serta didasari keyakinan dibelakangya, merupakan hidup yang bergulir biasa-bisa saja, kehidupan tanpa makna, dan sia-sia.

Imbalan Sesuai Harga

Menjalani kehidupan yang disertai falsafah, seperti dikemukakan di atas, sudah tentu mesyaratkan kerja keras dan dedikasi. Hal ini tidak mudah, namun pada saat Anda mampu melakukannya imbalannya sebanding: kepuasan batin karena bisa berkontribusi kebaikan dan dapat menghadirkan materi. Hukum alamnya memang demikian: memberi berarti menerima, mengambil yang bukan haq pasti diambil, menanam pasti menuai, dan seterusnya.

Kerja keras dan dedikasi akan berjalan lempang ketika, terlebih dahulu, kita bisa menemukan apa yang sesungguhnya menjadi fhasion hidup kita. Fashion atau hobi setiap orang berbeda-beda, bisa bertani, menulis, melukis, sepak bola, dll. Jadi temukanlah apa yang menjadi fashion Anda. Sebagai misal, salah satu fashion hidup saya adalah menulis. Dan ketika saya bisa menemukan media yang tepat untuk memublikasikan tulisan saya, katakanlah webset atau blog, maka pada saat menuis selalu ada gairah dan terasa tidak pernah kehabisan energi.  

Dengan diketemukannya pekerjaan yang kita cintai dan kita dapat mengerjakannya dengan cinta, kerja keras dan dedikasi kita dengan otomatis akan terinstal. Bagaimana ujung dari kerja keras dan dedikasi, bisa kita telusuri dalam lembar-lembar sejarah yang mengagumkan dan menginspirasi.

Belajar dar Sejarah

Berdasarkan sejarah, kita bisa belajar bahwa kebanyakan tokoh ternama di masa lalu, adalah orang-orang yang namanya tetap hidup meski faktanya mereka sudah meninggal. Mereka pernah mengalami penderitaan hebat, bersedia berkorban dan melayani, serta kerap mengalami kesalahan dan kegagalan, namun tetap tersenyum sampai akhir hayatnya.

Sokrates, Galilea, dan Knut Hansum, adalah sedikit contoh yang disebutkan di sini, tokoh berwatak kerja keras terhadap apa yang dikerjakannya, dan melakukannya dengan penuh dedikasi meski dalam prosesnya mengalami berbagai hambatan, bahkan penderitaan.

Tokoh yang disebutkan belakangan, Knut Hansum, adalah tokoh gelandangan yang memenangkan hadiah nobel dalam bidang sastra. Kisah hidup Hansum penuh drama. Dan pernah dinarasikan dalam sebuah artikel singkat, seperti yang dimuat dalam buku Napoleon Hill, edisi terjemahan bahsa Indonesia, “12 Aturan Emas Napoleon Hill”, sebagai berikut.

Hadiah Nobel untuk sastra telah diberikan, senilai hamper lima puluh ribu dolar, kepada Knut Hansum, yang mungkin belum pernah dikenal oleh warga Amerika Serikat.

Namun, Hansum sudah empat tahun menjadi kondektur kendaraan umum di Chicago dan buruh pelabuhan di kota New York. Ia pernah menjadi tukang cuci piring restoran, pelempar batu bata di kereta uap, tukang cat rumah, penulis esai ilmiah, pesuruh hotel, buruh kapal, dan banyak lagi.

Seperti O. henry, ia hidup kesepian bertahun-tahun, tak punya teman, jadi gelandangan, berkelana di muka bumi, kerap tak punya uang atau makanan, kenyang tidur di bangku taman.

Kini ia menerima hadiah paling bergengsi di dunia bagi genius sastra, dihadiahkan langsung oleh komite ahli.

Hansum dipecat sebagai kondektur troli karena “ia tak pernah bisa mengingat nama jalan”. Inspektur kota Chicago mengatakan bahwa ia tampak terlalu bodoh, bahkan untuk menjadi pengemudi Halsted. Jadilah ia hijrah ke New York, bekerja di pelabuhan selama beberapa bulan, lalu dikirim sebagai nelayan kapal untuk Newfoundland. Kemana pun, ia menulis.

Akhirnya, Hansum menerbitkan Pan, sebuah novel lirik berciri epik. Bukunya diterjrmahkan ke tujuh belas bahasa – bahasa Inggris menjadi salah satu yang terakhir.

Dua bukunya yang paling terkenal adalah Shallow Soil dan Hanger. Yang terakhir ini punya plot, awal ataupun akhir. Tokoh utamanya juga tidak diberi nama atau umur. Hanger menggambarkan apa yang terjadi pada seorang peria yang tak bisa mendapat pekerjaan di sebuah kota besar, baik sebagai penulis maupun buruh kasar, dan terpaksa kelaparan setelah menggadaikan sebagian besar pakaiannya. Di akhir novel, orang itu mendapati diri kembali ke titik awal: tak punya teman, tak punya rumah, tak punya nama. Semua yang pernah membaca kisah ini tak akan bisa melupakannya.

Kini (waktu itu, pen.), di usia 60 tahun, ia memiliki ketenaran yang mendunia, mengantongi hadiah 50 ribu dolar, plus sebuah tanah luas di pedesaan Norwegia, dan pintu pagarnya akan senantiasa diketuk oleh penerbit. 

Melalui kisah Hansum yang diceritakan secara singkat lewat artikek berjudul “Seorang Gelandangan Memenangkan Hadiah Nobel untuk Sastra”, kita bisa belajar tentang sejatinya menjadi pembaca dan pembelajar, kerja keras, dan pengabdian. Siapa pun yang bisa menduplikasi cara-cara demikian, mesti tidak mutlak harus serupa jalan hidup yang diretas, akan menuai sukses pada akhirnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

NASIHAT SYAIKH 'ATHA' BIN KHALIL TENTANG PENTINGNYA MEMPELAJARI BAHASA ARAB

Citra Pesantren dalam Landscape Islam Nusantara