Perspektif Howard Gardner: Sekolah Didesain Mengubah Mindset
Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan
“Belajarlah saat tidak ada orang yang melihat”
( Theodore Sizer )
Keluarga Indonesia masih memercayai bahwa sekolah merupakan institusi yang dapat memberikan garansi bagi putra-putrinya memiliki masa depan yang lebih baik. Sehingga, bagi keluarga Indonesia, yang memiliki kemampuan ekonomi, seperti kelas menengah ke atas, kita dapat melihat pada setiap awal tahun ajaran baru nampak fenomena dimana sekolah-sekolah yang dianggap “baik” diburu meski biaya pendidikannya mahal.
Masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat internasional, memandang pendidikan sebagai salah satu unsur terpenting dalam masyarakat. Semua orang mengakui tanpa pendidikan, seseorang sulit untuk berkiprah dengan baik saat ini, terlebih di masa depan, yang tingkat kontestasi di semua lini kehidupannya lebih berat.
Dalam konteks ini perlu untuk dikemukakan esensi dasar tentang sekolah dengan harapan sebagai orang tua kita tidak terjebak kedalam tindakan atau sikap asal menyekolahkan tanpa memahami dengan baik bagaimana sekolah seharusnya disikapi dengan bijak. Pertanyan selanjutnya adalah Apa sejatinya esensi dasar peranan intitusi yang bernama sekolah?
Adalah Howard Gardner, Profesoar kognitif dan edukasi dari Harvard Project Zero, melakukan riset dengan intens bagaimana terjadinya proses perubahan isi pikiran manusia (mindset). Dari agen-agen pengubah pikiran manusia, tentunya perubahan pikiran secara sadar dan bukan pikiran manipulatif, menurut Gardner guru adalah salah satu agen pengubah pikiran peserta didik.
Dalam riset Gardner, sekolah adalah aspek kunci Karena sekolah telah secara eksplisit diserahi tugas untuk mengubah pikiran. Gardner melihat sekolah-sekolah saat ini pada umumnya membantu para murid untuk mengembangkan tiga sikap mental baru, yaitu 1) Belajar di lingkungan yang tidak biasa, 2) Mempelajari simbol-simbol tertentu, baik di atas kertas ataupun layar komputer, dan 3) Belajar untuk berpikir berdasarkan beberapa disiplin ilmu.
Secara singkat dan terstruktur penulis akan mengemukakan ketiga model perubahan sikap mental baru tersebut dalam perspektif Howard Gardner. Kemudian kita, selaku orang tua, diharapkan bisa melakukan asistensi dengan baik terhadap anak-anak kita dan terhindar gagal paham.
Secara singkat dan terstruktur penulis akan mengemukakan ketiga model perubahan sikap mental baru tersebut dalam perspektif Howard Gardner. Kemudian kita, selaku orang tua, diharapkan bisa melakukan asistensi dengan baik terhadap anak-anak kita dan terhindar gagal paham.
Sekolah dalam Konteks Belajar di Luar Konteks
Di sekolah, sekelompok anak hadir untuk beberapa jam setiap hari. Mereka harus bersikap baik kepada teman-temannya dan memerhatikan orang-orang dewasa dengan pesan yang dominan ( dalam hal ini guru ). Tujuan mereka harus duduk diam berlama-lama supaya dapat menguasai pelajaran dan bisa mengamalkan pelajaran yang didapatnya dalam kehidupan sehari-harinya sebenarnya agak bias.
Tantangan pertama bagi pendidik, menut Gardner, adalah mensosialisasikan sekolah kepada anak-anak yang relatif muda usia. Inilah pengubahan pikiran pada tingkat dasar: membantu anak-anak untuk beralih dari belajar segala sesuatu melalui pengamatan ke belajar di institusi formal. Tahap pembukaan ini prosesnya harus dibuat sedemikian menyenangkan dan dengan berbagai bentuk interaksi, murid dengan guru dan murid dengan teman-temannya, yang terjadi di kelas. Perubahan pikiran dengan cara-cara demikian cukup signifikan. Pada tahun-tahun pertama dalam hidupnya, anakanak belajar sesuatu dengan mengamati orang dewasa dalam aktivitas sehari-hari. Tapi, begitu seorang anak memahami “ide sekolah”, mereka dapat mulai belajar tentang berbagai hal dan peristiwa yang terjadi di luar tempat dan waktu kejadian yang sebenarnya.
Tantangan pertama bagi pendidik, menut Gardner, adalah mensosialisasikan sekolah kepada anak-anak yang relatif muda usia. Inilah pengubahan pikiran pada tingkat dasar: membantu anak-anak untuk beralih dari belajar segala sesuatu melalui pengamatan ke belajar di institusi formal. Tahap pembukaan ini prosesnya harus dibuat sedemikian menyenangkan dan dengan berbagai bentuk interaksi, murid dengan guru dan murid dengan teman-temannya, yang terjadi di kelas. Perubahan pikiran dengan cara-cara demikian cukup signifikan. Pada tahun-tahun pertama dalam hidupnya, anakanak belajar sesuatu dengan mengamati orang dewasa dalam aktivitas sehari-hari. Tapi, begitu seorang anak memahami “ide sekolah”, mereka dapat mulai belajar tentang berbagai hal dan peristiwa yang terjadi di luar tempat dan waktu kejadian yang sebenarnya.
Sekolah Sebagi Instrumen untuk Menguasai Sesuatu.
Saat sekarang ini kita hidup dalam kultur yang mengutamakan budaya tulisan. Oleh Karena itu, Gardner memandang bahwa tugas utama sekolah adalah membantu murid untuk memahami bahasa tertulis dan menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan sesuai dengan bahasa yang dikuasai lingkungannya.
Tapi pada abad ke-21 ini, proses komunikasi di dunia kita disampaikan dengan media gambar, baik statis maupun dinamis. Webset memang menampilkan tulisan, tetapi juga mengakomodasi kartun, film, musik, dan sejemisnya. Gardner memosisikan media ini sebagai tempat penting bagi rediskripsi representatif karena komputer seringkali lebih atraktif baik itu gambar atau tulisan dibanding cetakan buku biasa. Juga, pada komputer, teks berubah menjadi hyperteks, seseorang dapat mengakses situs-situs yang berhubungan sebanyak-banyaknya, dan informasi dapat disampaikan tanpa mengikuti aturan yang baku.
Dalam konteks demikian, Gardner menyimpulkan bahwa saat ini tugas mengubah pikiran juga mengalami perubahan. Kalau seseorang ingin memengaruhi pikiran orang lain, ia harus tahu bagian mana yang ingin dipengaruhi. Hal itu akan menentukan bentuk informasi apa yang optimal, model informasi seperti apa yang sebaiknya digunakan, dan faktor-faktor apa yang dapat membantu tercapainya keberhasilan.
Sekolah Sebagai Sarana Mempelajari Metode Berpikir
Jika sekolah berkomitmen mengubah mindset para siswa dan mendorongnya untuk memanfaatkan berbagai penemuan para ilmuwan besar berabad-abad, maka seorang pendidik harus menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk mengajarkan rahasia-rahasia ilmu pengetahuan kepada para siswa. Harus diakui pula bahwa sebagian besar orang tidak dapat menguasai suatu ilmu tanpa bimbingan selama bertahun-tahun lamanya.
Guna membangun pola pikir ilmiah para siswa, Gardner melalui penelitiannya, menunjukkan bahwa pemahaman terhadap suatu ilmu akan timbul setelah seseorang memenuhi tiga syarat. Pertama, kita harus menyanggah secara langsung miskonsepsi ( atau konsep-konsep yang salah ) yang dibuat anak-anak, baik itu yang menyangkut kesalahan substansi ( misalnya manusia adalah spesies yang tidak ada hubungannya dengan binatang apa pun, dan juga tumbuhan ) atau pun kesalahan metode ( misalanya eksperimen hanya perlu dilakukan satu kali dan setelah itu interpretasinya pasti benar ). Resistensi harus diwaspadai dan disanggah. Anak-anak harus melihat bahwa sekuat apa pun, kadang-kadang konsep mereka salah. Mereka akan menyadari hal ini setelah melalui serangkaian konfrontasi yang sistematis dan rutin, bahwa kesimpulan mereka meskipun “alamiah” seringkali tidak disertai metode yang kuat.
Guna membangun pola pikir ilmiah para siswa, Gardner melalui penelitiannya, menunjukkan bahwa pemahaman terhadap suatu ilmu akan timbul setelah seseorang memenuhi tiga syarat. Pertama, kita harus menyanggah secara langsung miskonsepsi ( atau konsep-konsep yang salah ) yang dibuat anak-anak, baik itu yang menyangkut kesalahan substansi ( misalnya manusia adalah spesies yang tidak ada hubungannya dengan binatang apa pun, dan juga tumbuhan ) atau pun kesalahan metode ( misalanya eksperimen hanya perlu dilakukan satu kali dan setelah itu interpretasinya pasti benar ). Resistensi harus diwaspadai dan disanggah. Anak-anak harus melihat bahwa sekuat apa pun, kadang-kadang konsep mereka salah. Mereka akan menyadari hal ini setelah melalui serangkaian konfrontasi yang sistematis dan rutin, bahwa kesimpulan mereka meskipun “alamiah” seringkali tidak disertai metode yang kuat.
Kedua, seseorang harus terus memberi contoh dari diri mereka sendiri. Bisa berupa teori ilmiah yang spesifik, contoh-contoh sejarah, atau karya seni. Oleh Karena itu, kurikulum harus dirancang dan disusun sedemikian rupa serta hendaknya dilengkapi dengan contoh-contoh yang mendetail dan lengkap. Setelah mempelajari lebih dalam berdasarkan penelitian dan argumentasi terhadap topik-topik tertentu dari materi pembelajaran dan memahaminya secara mendetail, maka ke depan seorang siswa berkesempatan untuk menggunakan cara-cara sebagaimana yang ditempuh para ilmuwan untuk mendalami dan menginterpretasikan kasus-kasus yang terkait.
Begitu seseorang memutuskan untuk fokus terhadap satu detail atau contoh tertentu, kesempatan ketiga datang, yaitu peluang untuk meninjau suatu topik dengan beberapa pendekatan.
Begitu seseorang memutuskan untuk fokus terhadap satu detail atau contoh tertentu, kesempatan ketiga datang, yaitu peluang untuk meninjau suatu topik dengan beberapa pendekatan.
Dan secara alamiah ilmiah, eksistensi sekolah dengan agen-agen pengubah pikiran bisa melakukannya secara persisten dan konsisten dari waktu ke waktu, maka sekolah menjadi tempat ideal pengubah mind set para siswa. Terlepas dengan biaya murah atau tidaknya suatu penyelenggaraan sekolah, jika sutu sekolah tidak berhasil mengubah mind set murid-muridnya maka sekolah seperti itu tidak layak untuk dipertahankan.
Komentar
Posting Komentar