Politik Pendidikan Desentralisasi



Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan dan Ketua Komunita Go Trendi Bogor



Pendidikan politik berbeda maknanya dengan politik Pendidikan. Pendidikan politik menurut Mansour Fakih (1999), adalah setiap usaha untuk melahirkan kesadaran kritis bagi penghormatan atas hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, hak anak-anak, hak kultural dan politik kaum minoritas, hak-hak penyandang cacat, dan hak asasi manusia lainnya.
 
Adapun politik pendidikan menurut Abudin Nata (2010),adalah segala usaha, kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam, perkembangan selanjutnya politik pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikian dan menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan dan keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya. Dengan demikian politik pendidikan adalah segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa peraturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara.
 
Politik pendidikan Indonesia berubah mengikuti semangat jaman. Pada orde reformasi yang dimulai pada tahun 1998, warnanya kental dengan semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga penataan sistem pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri prinsip-prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
 
Melalui tulisan ini saya akan menyoroti model penyelenggaraan pendidikan yang dikehendaki dari gerakan reformasi pendidikan, yaitu soal desentralisasi. Wacana desentralisasi pendidikan sudah banyak dibahas. Dengan desentralisasi sebenarnya diharapkan persoalan-persoalan pendidikan, misalnya masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi, dan manajemen terpecahkan.

Desentralisai = MBS
Ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yaitu apakah cukup desentralisasi berhenti di tingkat pemerintahan kota atau kabupaten? Dari pengalaman banyak negara, pengelolaan pendikan yang diberikan oleh negara kewenangannya kepada pemerintah daerah tidak berhasil meningkatkan mutu Pendidikan secara signifikan. Oleh Karena itu, desentralisasi Pendidikan harus sampai pad tingkat sekolah secara individual.
 
Permasalahan krusial yang dihadapai oleh pendidikan adalah menyangkut manajemen. Tilaar (1998), merumuskan manajemen Pendidikan adalah mobilisasi segala sumber daya Pendidikan untuk mencapai tujuan Pendidikan yang ditetapkan. Jika demikian persoalannya, maka gagasan tetntang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus dimplementasikan dan dievalusi secara berkesinambungan. Sampai saat sekarang ini, MBS belum seutuhnya berjalan.
 
Wohlstetter dan Mohrman at all, seperti dikutif Dr. H.M. Zaenudin M.Pd. (2008), ada empat sumber daya yang harus didesentralisasikan, di mana kesemuanya pada hakikatnya merupakan inti dan isi dari MBS: power/authority, knowledge, information, dam reward. Keempat sumber daya ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yang kehadirannya sangat dituntut. Secara singkat, penjelasannya sebagai berikut:
 
Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung, yaitu melalui dewan sekolah. Setidaknya terdapat tiga bidang penting yaitu budget, personal, dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Di sini jelas sekali bahwa sekolah memiliki kewenangan yang besar dalam pembiayaan dengan cara menggali sumber-sumber pendanaan di lingkungan sekoalh. Selain itu, dalam bidang ketenagakerjaan sekolah bisa juga memiliki kewenangan untuk memilih tenaga-tenaga kependidikan  yang professional dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan sekolah. Apalagi, dalam kewenangan sekolah terhadap kurikulum, sepenuhnya sekolah memiliki kewenangan untuk memilih isi dan materi pelajaran mana yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan. Meskipun demikian, karena MBS di Indonesia masih dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, maka materi yang bersifat nasional juga harus diikuti.
 
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumber daya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti untuk kemajuan kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung, keterampilan kelompok, dan pengetahuan keorganisasian.
 
Ketiga, hakikat lain yang harus didesentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi yang harus dimilikin para pemimpin puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan kepada seluruh konstituen sekolah bahkan kepada seluruh stakeholder. Informasi desebarluaskan antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktut biaya, isu-isu disekitar sekolah, kinerja sekolah dan pelanggannya. Penyebaran informasi ini bisa secara vertical dan horizontal.
 
Keempat, penghargaan (reward) adalah hal penting lainnyayang harus disentralisasikan. Penghargaan ini bisa dalam bentuk fisik maupun non-fisik, yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan Pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran. Penghargaan pun harus diberikan kepada setiap pihak yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara itu, pihak yang tidak bisa menjalankan tugasnya dengan bai atau bahkan gagal menjalankan tugas juga perlu mendapat punishment secara wajar… Tanpa adanya punishment kepada yang gagal maka reward akan kurang berarti. Prinsip keseimbangan dan keadilan harus selalu diperhatikan dalam memberikan reward dan punishment.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah

Mimpi Syaikh Taqiyuddin An Nabhani