Potret Buram di Serambi Pendidikan


Oleh Muchsin Ismail, Praktisi Pendidikan dan Ketua komunitas Go Trendi Bogor


gpsbestari.com 

Sejak Januari sampai bulan April 2017, mahasiswa yang meregang nyawa diduga akibat kekerasan fisik sudah berjumlah 7 orang. Korban teranyar yang terjadi pada awal April adalah mahasiswa bernama Amirullah Adityas Putra (18), taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), di Jakarta. Ia tewas karena penganiaan yang dilakukan oleh oknum-oknum seniornya.

Tulisan ini hendak memotret kenapa peristiwa seperti itu sering terulang-ulang di serambi pendidikan kita. Seakan ini menjustifikasi bahwa kita tidak pernah dimampukan  belajar dari peristiwa-peristiwa tersebut guna menyelenggarakan pendidikan bermartabat. Jika ditelisik lebih dalam terjadinya kekerasan di sekolah, maka ada tiga ranah yang harus menjadi perhatian bersama: kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, dan lingkungan sosial internal sekolah atau kampus.

Hakikat Kurikulum
Berbicara tentang pendidikan nasional maka mau tidak mau kita harus melihat out put diskursus kurikulum yang kita miliki yang bernama kurikulum nasional. Dan itu artinya, kita harus menengok kurikulum sebagaimana dirumuskan secara nasional oleh para elit. 

Menurut UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan sebuah pengaturan berkaitan dengan tujuan, isi, bahan ajar dan cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan nasional. Sementara itu Inlow (1966) menyatakan, kurikulum merupakan suatu usaha menyeluruh yang dirancang secara khusus guna untuk membimbing peserta didik dalam memperoleh hasil belajar dari pembelajaran yang sudah ditetapkan.

Dari kedua rumusan tadi jelas bahwa hakikat kurikulum merupaka rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh semua steak holder pendidikan. Kurikulum hanyalah sebuah kurikulum. Sebaik apa pun isi, tujuan , dan bahan ajar kurikulum jika tidak implementatif, ia tetap hanyalah sebuah narasi mati. Sebaliknya, pembelajaran yang tidak berbasis kepada kurikulum menjadi kehilangan arah dan liar.   

Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pendidik, juga tenaga kependidikan, keberadaannya sangat sentral di dunia pendidikan. Selaku pendidik mereka diposisikan untuk melakukan upaya sadar dan sistematis membimbing peserti didik menjadi manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, dan berkeadaban.  Sungguh suatu tugas yang amat berat sekaligus mulia.
 
Tidak akan berjalan lancar dan tertib proses pembelajaran di sekolah atau kampus manakala tanpa kehadiran tenaga kependidikan. Paradoksnya, kerap mereka kurang mendapat perlakukan manusiawi yang baik, baik dari segi penghargaan dan finansial. Paradoks lainnya, seperti munculnya kasus kekerasan yang berujung pada kematian, tidak lebih dan tidak kurang, itu lah paradoksal pendidakan dimana pendidik kemudian yang dituntut pertanggung jawabannya.

Lingkungan Sekolah
Apa khabar dengan lingkungan sekolah kita? Khabar baik kah, biasa-biasa saja kah atau justru mencemaskan! Padahal lingkungan pendidikan dikontruksi supaya terjadinya perubahan mindset peserta didik kearah yang lebih maju. (lihat artikel lain berjudul Sekolah Didesain Mengubah Mindset). 

Sementara melihat dan mendengar lewat media serentetan kasus guru yang “dimeja-hijaukan”, tindakan bullying, sampai perlakuan kekerasan atas nama penanaman disiplin oleh senior terhadap juniornya - dibeberapa tempat berujung pada kematian, maka mau tidak mau harus diakui secara elegan pendidkan kita mengalami kemunduran. Ini harus direspon dengan cepat dan tepat. Situasinya sudah pada tingkat darurat pendidkan. Jika tidak kondisinya akan semakin parah dan potret dunia pendidikan kita pun akan kian buram.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah

Mimpi Syaikh Taqiyuddin An Nabhani