Terorisme dan Radikalisme “Gebuk” dan “Tendang”


Oleh Muchsin Ismail


 anekainfounik.net

Di saat umat Islam Indonesia sedang disibukkan memersiapkan diri menyambut datangnya bulan Ramadlan dan bangsa ini sedang giat mengurai benang kusut guna merajut kembali NKRI, tiba-tiba dikejutkan dengan peristiwa ledakan bom bunuh diri di halte bus Kampung Melayu, Jakarta.

Sontak, peristiwa itu, meninggalkan jejak-jejak luka, baik bagi anggota masyarakat yang terdampak langsung yaitu korban dan keluarga korban maupun masyarakat umum. Dua ledakan bom bunh diri mengakibatkan nyawa meregang dan yang mengalami luka berat. Lima orang meninggal dunia, tiga orang adalah aparat keamanan (polisi) dan yang duanya lagi diduga pelaku bom bunuh diri serta belasan sisanya mengalami luka berat.

Kita harus berbelasungkawa terhadap korban dan keluarga, kita pun mengutuk keras atas tindakan pengecut teroris, dan berkharap di masa depan tidak ada lagi korban manusia akibat tindakan biadab tersebut. Maka dari itu, pertanyaannya kemudian bagaimana menyikapi fenomena dan bahaya laten dari terorisme dan radikalisme yang sepertinya tidak pernah reda di republik ini?

Soal dan Solusi
 Ada sejumlah persoalan yang belum bisa kita tuntaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga kenapa riak-riak terror dan radikalisme kerap mengemuka. Pertama, soal kesejahteraan dan keadilan sosial. Harus diakui bahwa kesejahtraan belum bisa dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan gup anatara yang sangat sejahtera dan tidak sejahetra begitu lebar dan dalam. Oleh karena itu, masyarakat miskin, baik karena keturunan dan ketidakmampuan maupun karena soal struktural yang membuatnya mereka miskin dan menderita, mudah sekali diprovokasi dan dimanfaatkan untuk melawan simbol-simbol kekuasaan.

Kesejahteraan dan keadilan soial yang tidak segera diseleseikan akan membuat kebersamaan dan kebersatuan kita dalam bingkai kebhinekaan akan senantiasa mengalami guncangan dan turbulensi dari waktu ke waktu. Oleh Karena itu, harus ada upaya sepenuh hati melakukan kebijakan pemerataan ekonomi.

Masyarakat yang dibangun di atas fondasi sistem ekonomi berpusat pada negara, pasar bebas, dan atau kombinasi pasar bebas dan sosial telah mengalami kegagalan dalam menciptakan kesejahtraan bersama. Belakangan muncul pemikiran alternatif, yakni model pembangunan ekonomi masyarakat ko-kreasi.

Pembangunan masyarakt ko-kreasi ditandai, setidaknya oleh beberapa hal, yakni 1) kepemilikan bersama atas berbagai sumberdaya dimana dunia menjadi lebih ramah ekonomi, sosial, dan budaya; 2) pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan lingkungan yang berkelanjutan; dan 3) menggunakan sistem jejaring ekonomi, suatu sistem bukan sekedar sarana interaksi dan komunikasi, namun bersama-sama dalam mengakses sumberdaya yang ada untuk kemanfaatan bersama.

Kedua, persoalan krusial lainnya adalah soal korupsi. Korupsi yang terjadi di Indonesia begitu masif dan tanpa rasa malu. Korupsi terjadi di semua lini kehidupan sehingga seolah kita kehabisan akal dalam memberantasnya. Penyalahgunaan kewenangan dan keuangan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok mengakibatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi mangkrak. Ironinya, uang negara yang dikorupsi itu merupakan uang negara yang dipinjem dari negara-negara sahabat dan lembaga keuangan dunia untuk menutupi defisit anggaran negara.

Memang tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil, dalam memberantas korupsi yang sudah sedemikian membudaya ini. Dalam konteks ini, negara masih membutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ad hoc yang harus dikecualika, guna mencegah dan menangkapi koruptor. Selanjutnya, para koruptor yang telah berhasil “dimeja hijaukan” hendaknya dihukum dengan hukuman yang berat yang bisa menimbulkan efek jera luar biasa.

Pencegahan tindak korupsi sejak dini tetap diupayakan terutama terhadap generasi muda calon pemimpin dengan bekal pendidikan anti korupsi. Pendidikan karakter bangsa, seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, harga diri dan kehormatan, dan lain sebagainya hendaknya dilakukan disemua level pendidikan baik formal dan informal. Dengan begitu, kedepannya, budaya korupsi syukur-syukur bisa dieliminasi, jika tidak pun bisa berkurang secara signifikan.

Semua orang tahu bahwa sumbangan terbesar lahirnya tindakan terorisme dan radikalisme disebabkan dua hal di atas. Artinya, masyarakat akan selalu diperhadapkan dengan suasana tidak aman dan nyaman selama kedua hal tersebut tidak bisa diatasi.

“Gebuk” dan “Tendang”
Dalam menangani terorisme, polisi kita sudah memiliki pengalaman cukup memadai. Begitu aksi teror terjadi di pagi hari maka sore harinya identitas pelaku dan jaringan dibelakangnya sudah bisa dideteksi. Bagi aparat kepolisian, sepertinya, menangani terorisme tidak sulit. Tetapi tidak demikian dalam hal menangani radikalisme.  

Diksi radikalisme bermain diruang wacana, sehingga aksi atau gerakan radikalisme bisa dimaknai secara berbeda atau debatable. Bisa jadi, seseorang  mengatakan suatu aksi dan gerakan itu radikal tapi tidak bagi seseorang lainnya. Oleh sebab itu, strategi untuk melakukan upaya deradikalisasi dan kontra radikalisasi, sebagiman program yang digulirkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), harus hati-hati dan tidak boleh gegabah.

Parameter kita dalam berbangsa dan bernegara adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Jadi, jika ada aksi atau gerakan yang nyata-nyata mau mengintrupsi Pancasila dan UUD 1945 serta berkehendak menggoyang NKRI dan Bhineka Tunggal Ika itu dengan cara-cara inkonstitusional, terlebih dengan memobilisasi massa yang dipersenjatai, maka gerakan tersebut, meminjam istilah pak presiden Djokowi, mesti di “gebuk” dan di “tendang”.

Kata-kata sudah terlanjur terucap masuk ke ruang publik dari Sabang sampai Mauroke dan lepas dari pro kontra atas pilihan penggunaan kata diksi “gebuk” dan “tendang” dari presiden untuk orang atau kelompok orang yang bersebrangan secara idiologis dengan Pancasila, dikharapkan efektif memberikan rasa aman terhadap psikilogi sosial. Namun selanjutnya, pemerintah apalagi presiden perlu berhati-hati dengan ketegasan yang hendak dihadirkan dan tentunya dengan diksi yang tidak menimbulkan polemik. Semoga saja!        
            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna “Antum A’lamu Bi Amri Dunyakum”

NASIHAT SYAIKH 'ATHA' BIN KHALIL TENTANG PENTINGNYA MEMPELAJARI BAHASA ARAB

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB SURVEYOR